Pony dan Santi (edo/detikcom) Jakarta - Pony Tjandra mengendalikan narkoba dari LP Nusakambangan dengan omzet mencapai Rp 600 miliar. Padahal, Pony sempat dituntut hukuman mati dalam transaksi 67 ribu ekstasi. Mengapa Pony dulu tidak divonis mati?
Tuntutan jaksa itu diajukan pada 27 September 2006. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Utara (Jakut) menuntut Pony dihukum mati karena dinilai bersalah melakukan tindak pidana secara terorganisasi mengedarkan psikotropika golongan I. Hal itu memenuhi syarat pasal 12 ayat 3 dan pasal 59 ayat 2 jo pasal 59 ayat 1 huruf c UU No 5 Tahun 2007 tentang Psikotropika.
Tapi siapa sangka, pada 2 November 2006 Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) hanya menjatuhkan hukuman penjara 20 tahun. Vonis ini dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta pada 15 Januari 2007. Tidak terima, jaksa dan Pony lalu mengajukan kasasi. Lagi-lagi, vonis mati luput disematkan ke Pony.
"Alasan-alasan pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan oleh karene judex factie (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri) tidak salah menerapkan hukum," ucap majelis sebagaimana dikutip dari website MA, Kamis (2/10/2014).
Duduk sebagai ketua hakim agung German Hoediarto dengan hakim agung Imron Anwari dan hakim agung Timur P Manurung. Dalam sidang pada 27 Juni 2007 itu, ketiganya menilai putusan judex factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau UU.
"Maka permohonan kasasi dari terdakwa tersebut harus ditolak," cetus majelis dengan bulat.
German kini telah pensiun. Adapun Imron dan Timur masih bertugas dengan beberapa putusan gembong narkoba yang cukup kontroversial. Imron menjadi ketua majelis bos narkoba Hengky Gunawan yang vonis matinya dianulir dan putusannya dipalsukan. Next
Ikuti berbagai berita menarik hari ini di program "Reportase" TRANS TV yang tayang Senin sampai Jumat pukul 16.45 WIB(asp/nrl)